Posts

Showing posts from 2014

The Methodology of Mathematics | by Ronald Brown and Timothy Porter

Introduction We start with some general questions to which we believe it is helpful for students to be able to formulate some kind of answers. The question for teachers of mathematics at all levels is to what extent, if at all, the training of mathematicians should involve professional discussion of, and assessment in, possible answers to these questions, such as those given or suggested here. Some basic issues for mathematicians Is mathematics important? If so, for what, in what contexts,and why? What is the nature of mathematics, in comparison with other subjects? What are the objects of study of mathematics? What is the importance of mathematics? It is not generally recognised how much of a part mathematics plays in our daily lives. Some of the mathematics is of course quite old: every day we use numbers, graphs, addition and multiplication. It is easy to forget that the invention of these was at one time a great discovery. The replacement of Ro

Kau Benar - Benar Merepotkan

Kau benar – benar merepotkan Mungkin hanya sepenggal kalimat itu yang bisa aku katakan saat ini, kau benar – benar merepotkan. Merepotkan banyak hal dalam hidupku. Bahkan kau masih tak menyadari jika kamu benar – benar merepotkan. Tapi sayang sekali, sepertinya kau akan selalu merepotkan diriku. Coba perhatikan, segala sesuatu pasti dimulai dari ‘0’ (nol) kan ? bahkan ketika ku mulai memendam perasaan ini, bukankah dimulai dari 0 ? Dari 0 aku memulainya, dari 0 aku memperhatikanmu , berusaha untuk dapatkan perhatianmu, berusaha untuk dapatkan perasaanmu, berusaha agar aku tidak memulainya lebih dulu :(  masih kah kau tak menyadarinya ? Benar – benar merepotkan. Apa kamu sudah mengetahui , selama kau tak disini – aku tidak merasa baik – aku terjerambab dalam perasaan yang merepotkan ini, perasaan yang saat ini hanya bisa ku biarkan tanpa harus membuatnya menjadi nyata , perasaan yang membuatku berpikir bahwa kau hanya khayalan semata, tidak untuk menjadi “nyata” untuk kemba

Gigit Jari

aku tak peduli bagaimana orang menilaimu, aku tak peduli bagaimana kita dipertemukan , aku tak peduli bagaimana caramu memperlakukanku. kau tetap yang terhebat dihatiku aku tak mengerti, bagaimana harus menuliskan perasaan ini, perasaan yang muncul dengan sangat tidak wajar. bagaimana bisa perasaan ini muncul hanya dengan memandangimu saja, apa aku telah dibutakan oleh perasaanku sendiri ?  aku tak punya keberanian untuk memulai, aku takut. aku takut kau tidak akan menghiraukanku dan perasaanku. aku juga takut jika perasaan ini akan berakhir sia-sia. maka, harus bagaimana ? harus bagaimana aku menyembunyikan perasaan ini ? sedangkan perasaan ini tumbuh terlampau cepat , aku pun tak bisa mengendalikannya.  maafkan aku, jika aku menyukaimu. maafkan aku jika aku mulai mencintaimu. maafkan aku. aku tidak pernah meminta agar perasaan suka ini berubah jadi cinta, aku tidak pernah meminta kau sering melintas di pandanganku. semua ini salahku, memang tidak sepantasnya aku masuk

Kau Sudah Tahu Jawabannya , Pergilah

“kau sudah tahu jawabannya , pergilah” Terasa berbeda, memang berbeda semenjak kau tak disini. Entahlah. Aku bingung, mungkin lebih dari bingung. Aku tak tahu bagaimana harus menyesuaikan diri dengan keadaan baru seperti ini. Setelah kau pergi , ya setelah kau pergi. Memang , sakit bercampur cinta, benci bercampur rindu, musnah bercampur harap. Tapi apa daya , apa yang bisa aku lakukan ? APA ? Pagi itu, tak ku temui lagi pesan singkatmu, tak kutemui lagi candaan kecil darimu, tak kutemui lagi foto lucumu, tak kutemui lagi kata-kata singkat yang menyejukkan hatiku, semuanya tak kutemui lagi. Saat itu, aku pun bertanya pada diriku, “secepat inikah?” , “Oh Tuhan, aku belum terbiasa seperti ini” , “Tuhan, akan seperti inikah seterusnya, selamanya?” biarkan waktu yang menjawab. Sembunyikan setiap air mata yang menetes, berharap ini tidak nyata, berharap ini tak akan terjadi, berharap kau kan kembali. Entahlah, sepertinya konyol sekali berharap seperti itu. Terasa perih, saat ku t

Lelakiku

Selama ini, selama kau bukan lelakiku lagi.  aku berusaha memastikan dan mengendalikan hidupku untuk semua terkesan berjalan baik-baik saja tanpa kamu.  bukan penyesalan yang ada di perasaanku, tapi kau beserta rasa sayangmu yang masih ada dan aku rasa di bagian imajinerku , sialnya hal itu sering kali datang pada factualku.  Seperti yang aku katakan sebelumnya, otakku tak mampu mentransfer apa yang perasaanku mau dan ingatanku yang kadang ada kadang hilang.  Aku tertekan dengan keadaan seperti ini. bukan hal yang mudah untuk diobati ketika kau juga berada di posisiku dan menjangkit syndrom yang sama denganku,  Obsessive-Compulsive Disorder.

Hanya Dalam Diam

Aku takut. Aku tegaskan sekali lagi aku takut. Aku takut kau tak sempat buktikan janjimu. Aku takut kau tak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang serius mana yang bercanda, mana yang benar benar berjuang untukmu atau hanya sekedar pelarian.  Aku tau, mungkin ketakutanku menurutmu terlalu berlebihan hingga membuat diriku selalu meragukanmu. Tapi ketahuilah bahwa ketakutanku sungguh beralasan. Aku takut kehilangan ‘rasa’ yang ada dihatimu itu. Rasa yang sungguh memang tak biasa, tak pernah diharapkan datangnya , bahkan tak tahu kapan akan rasa itu akan musnah.  Aku tak pernah takut kehilangan dirimu, buktinya selama ini aku selalu menunggumu dalam diam, dalam kejauhan yang mungkin kau tak pernah menyadarinya. Dalam diam, aku bisa merasakan bahwa aku memilikimu seutuhnya, dalam diam aku tak menerima penolakan apapun dari dirimu, hanya dalam diam.  Hanya dalam diam, aku bisa tersenyum sendiri melihatmu dari kejauhan. Dalam diam, aku bisa mendoakanmu

penghujung kisah

Hal itu tak lantas membuatku putus asa, seakan aku harus tunjukkan usahaku yang sebenarnya. Apa daya, usahaku tak cukup mampu buatmu kembali, tak cukup buat kau memihakku. Harus bagaimana lagi? Memulainya dari awal lagi? Entahlah, diriku seketika lemah, rapuh, tak sekuat seperti dulu. Apakah aku harus berjuang sendirian ? Hebat, kau lautan luas. Aku hanyalah perahu kecil yang sesaat mengarungi luasnya laut hatimu. Berkali-kali aku terombang ambing, berkali-kali aku merasakan ketenangan lautmu, dan berkali-kali pula aku dihantam ombak besar dalam lautmu. Ternyata hal itu tak menjadikanku pelaut ulung yang dapat menaklukkan lautan hatimu. Menentukan pilihan. Ya, meskipun gagal menerjang ombak dilautan itu, pilihan satu-satunya , pilihan terburuk, pilihan yang dianggap orang lain pecundang, "menepi". Ya, sebuah jalan terakhir bila perahu kecil ingin selamat. Menepi dari terjangan ombak. Menepi untuk beristirahat sejenak, atau bahkan menepi untuk selama-lamanya tidak akan

Habis Manis Muncullah Pahit

diawali dari masa "dulu" .... saat dimana ku merasakan indahnya kasihmu saat dimana kau masih mendambaku saat dimana kau masih sangat membutuhkanku Dulu..... saat bangun pagi, selalu ku lihat pesan darimu muncul di layar ponselku kau ingatkan aku untuk sarapan, mandi, ibadah, kuliah.... yah memang, itu memang hal sepele bagimu namun aku merasakan adanya sesuatu yang spesial dari sudut pandangku Dulu..... saat matahari mulai beranjak membentuk tiada bayangan kau ingatkan aku untuk makan tepat waktu kau ingatkan aku untuk mengerjakan setiap tugasku kau memberiku semangat dalam tiap pesan singkatmu Dulu..... saat rembulan mulai bersinar menggantikan matahari kau memintaku untuk membereskan semua tugas memberitahuku akan tiap aktivitasmu kau memintaku untuk jangan tidur cepat kau menelponku setiap malam dan bercerita semua aktivitas yang kau jalani hari itu bisikan "selamat malam" , "selamat tidur" , "aku sayang kam

Hanya Lelah Berpura - Pura Kuat :')

saat tidak lagi didengarkan saat tidak lagi dihargai  saat tidak lagi diperhatikan saat tidak lagi dibutuhkan saat itulah aku merasa dijatuhkan  saat itulah aku merasa diabaikan  saat itulah aku merasa terbebani  saat itulah aku berpikir ulang aku coba memahaminya mulai dari awal aku coba menahan gejolak amarah di dada aku coba untuk tak lelah untuk mempedulikanmu aku coba untuk tak terlihat cengeng dihadapanmu aku sadar bahwa diriku bukanlah seseorang yang cukup berarti bukan juga seorang yang punya pengaruh besar dalam hidupmu aku sadar bahwa diriku bukanlah yang kau harapkan hanya seseorang yang tak sengaja melintasi hidupmu aku sadar bahwa luka ini sudah terlalu lama terbuka dan aku menutupinya , menutupi semuanya agar tak terkuak oleh siapapun dibatas kesabaran, aku masih berpura-pura kuat berpura-pura mengatakan "aku tidak apa-apa" dan memncoba untuk membuka lagi pintu kesabaran yang baru sabar yang membutuhkan kekuatan  tampaknya tak lagi me